Mendobrak Kepakaran: Menggugah Kesadaran Hukum terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga

Ristya Chayani

Oleh: Ristya Chayani

Setiap tahunnya bulan Oktober diperingati sebagai bulan Kesadaran Kekerasan dalam Rumah Tangga namun tampaknya kesadaran mengenai hal ini belum terlaksana secara maksimal,saat ini kekerasan dalam rumah tangga masih terus terjadi.

Pada tahun 2022 Komnas Perempuan mencatat setidaknya 873 kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga terjadi di Indonesia, adapun kasus ini terdiri atas kekerasan terhadap istri sebanyak 622 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 140 kasus, dan kekerasan lain seperti kekerasan terhadap menantu, sepupu, kakak/adik ipar atau kerabat lainnya sebanyak 111 kasus.

Meskipun pada umumnya kekerasan tidak memandang gender, akan tetapi berdasarkan berbagai fakta menyatakan bahwa pada konflik kekerasan seringkali menjadikan perempuan sebagai korbannya.

Hal tersebut sungguh sangat memprihatinkan dan perlu mendapatkan perhatian khusus, sebab perlakuan kekerasan tidak dapat dinormalisasi. Dalam masyarakat kita yang semakin maju isu kekerasan dalam rumah tangga menjadi semakin penting untuk diperbincangkan dan ditangani secara serius.

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan hal yang menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis. Secara umum KDRT atau domestic violence merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal. Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban, misalnya tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu.

Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa "Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Dengan adanya UU yang mengatur permasalahan KDRT menjadi bukti bahwa kasus ini bukan merupakan kasus yang sederhana yang menjadi masalah pribadi melainkan permasalahan hukum dan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Umumnya, pasangan suami istri tentu mengharapkan hubungan yang terjalin berlangsung secara harmonis, bahagia, nyaman dan penuh kasih sayang. Namun, tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan rumah tangga akan timbul berbagai konflik yang memicu pertengkaran hingga perpisahan.

Kesalahpahaman dan ketidaksesuaian antara satu sama lain menjadi salah satu pemicu pertengkaran yang dapat mengakibatkan tindak kekerasan. Kekerasan didefinisikan sebagai respons terhadap stresor yang dihadapi seseorang yang ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowits 2000 in Yosep 2011).

Perilaku kekerasan merupakan sebuah tindakan yang dapat membahayakan bagi diri sendiri, orang di sekitar maupun barang yang ada disekitar. Tindakan kekerasan tidak hanya melukai melainkan juga dapat menghilangkan nyawa.

Selanjutnya 1 2 3

Komentar

Loading...